Melihat Perbedaan Series “Tunnel” Korea Dengan “Tunnel Indonesia”

Back with another Korean drama.
Gue pernah bikin list beberapa drama Korea favourit sesuai genre-nya di tulisan yang ini.

Jadi beberapa minggu lalu, gue baru selesai nonton “Tunnel”. Drama Korea yang tayang tahun 2017.

“Tunnel” adalah drama Korea bertema criminal kedua yang gue tonton sampe selesai setelah “Signal”. Karena biasanya, setiap nonton drama Korea criminal gue akan terlalu penasaran sama ending-nya dan ujung-ujungnya mulai capek setelah lewat delapan episode.

Tapi kalian tahu nggak, kalo drama Korea ini punya versi Indonesia?

Remake asli.
Judulnya aja Tunnel Indonesia”.
Bukan kaya sinetron “Kau yang Berasal dari Bintang” yang ngikutin “My Love From Another Star” tapi nggak ngaku, sampe diomongin SBS.

Okay, back to “Tunnel”.
Versi Korea-nya bisa kalian tonton di Viu (gratis tapi banyak iklan) atau Netflix, sedangkan “Tunnel Indonesia” cuma ada di GoPlay.

Alasan gue bisa nonton “Tunnel” sampai selesai adalah karena mau membandingkan versi Indonesia dengan yang original-nya. Jadi dua series ini sengaja gue tonton back to back.

Inilah hasil pengamatan gue.

Sinopsis

Karena remake, jadi dua series ini punya jalan cerita yang sebelas dua belas.

Saat seorang detektif kriminal tahun 1990-an sedang mengejar seorang pembunuh berantai di dalam terowongan, dia tidak sengaja berpindah ke masa depan, tepatnya 30 tahun kemudian. Di sini dia membantu para detektif kriminal untuk menyelesaikan kasus tersebut (yang ternyata belum terungkap) agar dapat kembali ke masa lalu.

Yang berbeda hanya pada penggunaan kearifan lokal masing-masing negara. Jadi waktu menonton “Tunnel Indonesia”, kita akan merasa lebih dekat dengan jalan ceritanya.

Perbedaannya ada di modus operandi si pembunuh berantai.

Dalam cerita aslinya, “Tunnel” menggunakan kasus pembunuhan Hwasong sebagai latar belakangnya.

Kasus Hwasong adalah pembunuhan berantai yang terjadi tahun 1986 hingga 1991. Korbannya pasti wanita dengan rentang usia 13 sampai 71 tahun. Pembunuhnya beraksi pada malam hari dengan TKP yang selalu sama, di jalan dekat persawahan atau daerah pinggiran kota yang sepi.

Modus operandinya memperkosa lalu mencekik dengan barang-barang yang digunakan korban, seperti baju, kaos kaki, atau stocking. Saat itu, pembunuhnya tidak dapat tertangkap karena teknologi belum secanggih sekarang, sehingga DNA yang tersisa belum dapat diproses. Sehingga kasus ini baru terungkap 33 tahun kemudian.

Saking terkenalnya kasus ini, banyak film dan drama Korea yang menggunakannya sebagai background cerita. Antara lain, “Confession of Murderer” (2012), “Signal” (2016), dan “Memories of Murder” (2003) yang disutradarai oleh Bong Joon-ho (“Parasite”).

Dalam drama “Tunnel”, selain menggunakan MO yang sama dengan kasus Hwasong, si pembunuh juga digambarkan selalu mengikat tangan korbannya ke belakang, dan membuat titik di tumit mereka untuk menunjukkan jumlah wanita yang telah dibunuhnya. 

Tunnel Korea, Tunnel Indonesia C

Sedangkan pada versi Indonesia, si pembunuh juga menggunakan metode yang sama yaitu mencekik dan memberikan titik di tumit korban. Tapi, latar belakang-nya untuk membunuh wanita-wanita itu berkaitan dengan pesugihan, klenik, dan dukun. Selain itu, dalam prosesnya dia juga menggunakan unsur-unsur penari Jawa.

Pemain

Ini adalah actor dan actress yang memainkan tokoh yang sama pada versi Korea dan Indonesia.

Semua tokohnya sama.

Tapi karena durasi yang lebih pendek dibandingkan “Tunnel” Korea, pada versi Indonesia beberapa tokoh yang nggak terlalu ngaruh ke jalan cerita utama dihilangkan. Seperti wartawan rese, supir taxi yang membantu Gwang-ho di masa kini, dan polisi muda yang memiliki nama sama dengan Gwang-ho.

Kalo gue pribadi sih lebih suka pemain yang versi Korea. Rasanya lebih dapet karakternya. Apalagi Lee Yoo-young as a criminal psychological counselor. Ekspresinya kelihatan lebih natural daripada Hana Malasan. Terutama saat karakternya mulai berubah seiring berjalannya kasus dan pertemuannya dengan Gwang-ho.

Tapi Rukman Rosadi sebagai Ki Slamet bagus bukan main acting-nya. TOTAL GILA! Nggak dia aja, tapi juga Elang Gibran sebagai Margono alias Ki Slamet muda. Wah, gue sampe nganga nontonnya. Apalagi adegan di rumah sakit jiwa.

For your information, Elang Gibran adalah anak dari Rukman Rosadi. Jadi, nggak heran kalo acting-nya sama totalnya.
Elang Gibran juga jadi body double-nya Reza Rahadian di film “Habibie & Ainun 3” lho.

Jalan Cerita

Seperti drama Korea pada umumnya, “Tunnel” dibuat sepanjang 16 episode dengan durasi satu jam per episode. Sedangkan “Tunnel Indonesia” juga memiliki 16 episode, tapi hanya 30 menit setiap episode-nya.
Jadi cukup banyak cerita yang dihilangkan pada versi Indonesia. Salah satunya adalah kasus-kasus lain di kepolisian yang tidak berpengaruh banyak dengan kasus pembunuh berantai.

Series “Tunnel Indonesia” ini disutradarai oleh Ifa Isfansyah (“Sang Penari”), Tata Sidharta (short movie “Natalan”), dan Wisnu Legowo (“Turah”). Walaupun cuma setengah jam, tapi ceritanya padet dan nggak dipanjang-panjangin ala sinetron. Jadi, kecuali udah nonton versi yang Korea, lo nggak akan ngerasa ada plot hole atau cerita yang janggal.

Versi Korea yang punya durasi setengah jam lebih lama, membuat cerita yang lebih detail. Seperti pertemuan awal Gwang-ho sama istrinya, hubungan Gwang-ho dan Seon-jae dari yang berantem sampe kompak, masa lalu Jae-yi, dan banyak lagi.

Beberapa hal di “Tunnel Indonesia” dibuat lebih simple dengan jalan cerita yang lebih cepat. Misalnya bagaimana Ario di masa kini bisa mengenali Tigor dan pencarian Ambar di masa kini. Dalam versi Indonesia, proses ini dibuat selesai dalam satu episode. Sementara pada versi Korea membutuhkan dua episode atau lebih, karena harus menyatukan banyak clue yang bertebaran.

Selain itu, ada beberapa hal pada versi Indonesia yang disesuaikan dengan kearifan lokal. Antara lain, minum-minum soju setelah pulang kerja berganti ke makan Indomie dengan teh manis dan mandu (makanan favorit istrinya) berubah menjadi lumpia.

tempat nongkrong para detektif kriminal yang sebelumnya di pojangmacha, diganti ke warmindo
istrinya yang mengajak pergi ke acara pembukaan pelabuhan, diubah menjadi ke pasar malam

Ada satu perbedaan lagi yang gue tangkep. Minor sih (kecil banget bahkan) tapi ngasih pemikiran baru ke penonton.
Di episode satu, sebelum si detektif pergi bekerja dan “berpindah” ke masa kini, istrinya sempat memberikannya peluit. Nah, peluit ini akan jadi clue tersendiri di beberapa episode terakhir.

Perbedaannya di sini.
Di versi Korea, peluit yang dikasih adalah peluit polos. Maka waktu peluit ini dilihat Gwang-ho, agak janggal kalo dia bisa langsung ngenalin peluit-nya. Secara peluit kaya gitu banyak di mana-mana.
Sedangkan versi Indonesia, peluit itu di-grafir huruf T dari nama Tigor. Jadi, waktu Tigor melihat peluit ini, dia sudah pasti tahu jika ini adalah peluit milik istrinya.

Penggunaan kota Yogjakarta juga ada alasannya. Karena di versi Korea tokoh-tokoh ini tinggal di kota kecil yang bernama Hwayang, maka mereka menggunakan Yogjakarta agar setting-nya sama-sama di kota kecil. Selain itu, karena Yogjakarta merupakan kota yang memadukan suasana masa lalu dengan modern.

Menurut sutradaranya, mereka juga mau meng-explore Yogjakarta dari sisi lain, selain yang biasa dilihat banyak orang. Jadi set yang dipakai untuk series ini memang menarik banget.

Shoot-shoot dan warna pada versi Indonesia juga bagus banget. Nggak kalah sama series-series Korea, yang biasa kita tonton. Apalagi warna yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara masa lalu dan masa kini.

masa lalu dengan warna orange – coklat, sedangkan masa kini dengan warna biru – hijau

Ending

Ending adalah perbedaan terbesar dari dua versi series “Tunnel” ini. Spoiler alert! (Karena nggak mungkin cerita tanpa spoiler)

Di versi Korea, Gwang-ho kembali ke masa lalu tepat di saat istrinya masih hamil. Sekarang dia bisa menemani istrinya melahirkan dan melihat anaknya tumbuh. Dan penonton diperlihatkan cerita yang bergulir di masa lalu, tanpa diberi tahu seperti apa masa depan mereka.

yang cowok itu bukan anak mereka, tapi……

Hanya suara Gwang-ho di akhir episode yang berjanji akan tetap menangkap penjahat tersebut di masa depan, apapun yang terjadi.
Udah.
Itu aja.

Jadi kita nggak tahu apakah setelah sejarah berubah, Gwang-ho akan tetap dapat menangkap penjahat tersebut atau tidak.

Sedangkan di versi Indonesia, setelah Tigor kembali ke masa lalu, penonton nggak dikasih lihat kehidupannya di sana. Kita malah melihat Sita dan Tito yang berpelukan karena Sita bersedih setelah harus kembali “kehilangan” ayahnya.

Tapi tidak lama, tiba-tiba Tigor masuk ke rumah Sita. Tigor yang sekarang sudah tua dan beruban memeluk Sita dan berkata dia sudah melakukan semua yang dia mampu, tapi Ambar tetap tidak bisa diselamatkan.
Lalu diperlihatkan Tigor yang mendampingi Sita dan Tito menikah.

Hmmm……
Sejujurnya gue kurang suka sama dua ending ini.

Tapi cerita kaya gini memang agak susah punya ending yang “enak“. Berbeda jika ceritanya seseorang dari masa kini yang berpindah ke masa lalu. Saat dia kembali ke masa kini, kita bisa langsung melihat perubahan apa yang terjadi pada hidupnya. Karena masa lalu dan masa depan pasti berhubungan. Contohnya drama “Go Back Couple” (2017).

Kelemahan ending “Tunnel” versi Korea, kita nggak bisa tahu apakah di masa depan pembunuhnya bisa tertangkap seperti yang dia lakukan sebelumnya.

Karena dengan adanya Gwang-ho di kehidupan Jae-yi, ada kemungkinan anaknya tidak akan menjalani hidup yang sama. Jae-yi tidak pindah keluar negeri atau bahkan tidak bekerja di bidang yang sama karena satu dan lain hal. Karena perjalanan hidup dia sekarang sudah berbeda.
Dengan semua kemungkinan itu, pembunuh tersebut mungkin tidak tertangkap.

Jadi, dengan kembalinya Gwang-ho ke masa lalu, bisa jadi kejadian 30 tahun kemudian akan berubah.

Sedangkan pada ending versi Indonesia, sama seperti yang gue tulis di atas, dengan adanya Tigor di kehidupan Sita, ada kemungkinan akan merubah jalan hidupnya. Sehingga seharusnya tidak mungkin, Tigor berlari menemui Sita di rumahnya dan tidak merubah kejadian apapun di masa depan.

Kan sering dibilang di film-film science fiction, kalo melakukan hal sekecil apapun di masa lalu pasti mengubah masa depan.

Kalo bisa bikin ending versi gue sendiri, ini cerita yang akan gue buat.

Tito mengantarkan Tigor ke terowongan untuk kembali ke masa lalu, sedangkan Sita menangis di rumah. Lalu karena lelah dia pun pergi tidur. Paginya Sita tidak bangun di rumahnya sendiri, melainkan di sebuah rumah yang berbeda.
Selagi melihat sekeliling, di kepalanya akan muncul ingatan-ingatan baru, karena sejarah telah berubah dengan pulangnya Tigor ke masa lalu.

Sita berjalan keluar kamar dan melihat ayahnya sedang minum kopi atau melakukan sesuatu. Mungkin karena ayahnya tidak menghilang saat dia kecil, sampai sekarang mereka masih tinggal bersama, walaupun Ibunya tetap tidak bisa diselamatkan.

Lalu Tigor pergi bekerja ke kantor polisi, dan mengerjakan kasus pembunuh berantai tersebut, sedangkan Sita pergi ke kampus untuk mengajar. Sampai Sita bertemu dengan Tito saat diminta ayahnya untuk membantu kasusnya.

Mirip sama versi Indonesia, tapi agak diubah sedikit.

Tapi semua kembali ke penonton, lebih suka yang versi mana. Kayaknya waktu melihat ending original-nya, team penulis script versi Indonesia mau bikin ceritanya terlihat lebih “selesai” dibanding yang versi Korea.

Overall, ceritanya bagus kok. Terlebih karena karakter si pembunuh berantai punya banyak layer. Baik versi Korea ataupun versi Indonesia sama-sama punya kelebihannya sendiri.

Kalo penasaran ceritanya kaya gimana, kalian bisa nonton versi Indonesia. Tapi kalo suka cerita yang lebih detail dan punya waktu lebih banyak, silahkan nonton yang versi Korea.

Karena dua-duanya udah ada di OTT (Over The Top, streaming service untuk film dan TV content) yang legal, jangan nonton bajakan ya.

.

Sumber foto-foto:
“Tunnel” Korea dari sini.
“Tunnel” Indonesia dari sana dan dari situ.

Leave a comment